Selasa, 12 Januari 2016

Sejarah Pembangunan Museum Tsunami Aceh

Museum Tsunami Aceh  semula akan dibuat berbentuk kapal besar dan dimaksudkan hanya sebagai penyimpanan semua dokumentasi yang terkait dengan bencana alam 26 Desember 2004. Agar generasi penerus Aceh dan Indonesia mengetahui bahwa pernah terjadi peristiwa maha dasyat di bumi rencong ini.


Namun kemudian rencana berubah, Pemerintah Aceh bersama BRR NAD-Nias mengadakan sayembara untuk desain museum tsunami. Setelah menyisihkan 68 peserta lainnya, desain yang berjudul "Rumoh Aceh'as Escape Hill" akhirnya dimenangkan oleh seorang dosen arsitektur ITB, Bandung, M.Ridwan Kamil yang diumumkan pada 17 Agustus 2007.

Museum Tsunami Aceh yang terletak di depan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh ini memiliki tiga lantai, dengan luas setiap lantai sebesar 2.500 meter dan menghabiskan dana hingga Rp60 miliar lebih. Goresan arsitektur Ridwan Kamil ini, sarat dengan nilai kearifan lokal dan didesain dengan konsep memimesis kapal, seperti hendak mewartakan Banda Aceh adalah kota air alih-alih daratan.

Di dalam gedung terdapat kolam luas yang indah dengan jembatan diatasnya. Selain itu, terdapat ruangan yang dirupakan sebagai gua yang gelap serta ada aliran air mengalirKonsep yang ditawarkan arsitek ini, dengan menggabungkan rumoh Aceh (rumoh bertipe panggung) dikawinkan dengan konsep escape building hill atau bukit untuk menyelamatkan diri, sea waves atau analogi amuk gelombang tsunami, tari tradisional saman, cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban.

Lahannya yang disediakan pemerintah Aceh juga berbatasan langsung dengan komplek kuburan Kerkhoff, namun isi dan kelengkapannya disediakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh. Museum Tsunami Aceh adalah sebuah Museum untuk mengenang kembali pristiwa tsunami yang maha daysat yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2008 yang menelan korban lebih kurang 240,000 0rang.

Gedung Museum Tsunami Aceh dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman pengelolaan museum), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)cabang NAD yang membantu penyelenggaraan sayembara prarencana museum

Perencanaan detail Museum ,situs dan monumen tsunami akan mulai pada bulan Agustus 2006 dan pembangunan akan dibangun diatas lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sekitar Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk isinya juga berisi berbagai benda peninggalan sisa tsunami.

Sebelum pembangunan dimulai panitia menyelenggarakan lomba design museum dengan Thema "Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)", lomba yang ditutup tanggal 5 Agustus 2007 berhadiah Total Rp 275 juta dengan rincian pemenang I mendapatkan Rp 100 juta,ke II Rp 75 juta,ke III Rp 50 juta dan sisanya Rp 50 juta akan dibagikan sebagai penghargaan partisipasi kepada 5 design inovatif @ Rp 10 juta. Museum Tsunami Aceh dibangun di kota Banda Aceh kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh

Fungsi Museum Tsunami Aceh

  1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami. 
  2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. 
  3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami. 
  4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum tsunami tak hanya di desain sebagai tempat pembelajaran sekaligus menyimpan sejarah tsunami Aceh. Bangunan yang di desain dengan perpaduan konsep bukit menyelamatkan diri, analogi amuk tsunami, tari saman, cahaya Allah serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban ini juga bisa digunakan sebagai tempat menyelamatkan diri saat tsunami, karena atapnya merupakan ruang terbuka yang luas memang di rancang khusus.

Sumber: TENDASEJARAH.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar