Dalam sistem pemerintahan kerajaan Aceh, Panglima Polem merupakan pejabat Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar) dengan gelar tambahan Sri Muda Setia Peurkasa. Sedangkan untuk sebelah kanan Aceh Besar Panglima Sagoe Mukim XXVI bergelar Sri Imam Muda dan untuk sebelah kiri Mukim XXV bergelar Setia Ulama. Walaupun masing-masing Panglima Sagoe tersebut membawahi para Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchik, namun hanya sagoe pedalaman saja yang berhak memiliki gelar Panglima Polem.
Dengan demikian, sebutan Panglima Polem bukanlah nama asli dari tokoh yang bersangkutan, tetapi merupakan gelar kehormatan yang dinobatkan karena kebangsawanan sekaligus karena jabatan seseorang. Oleh karena itu, dalam sejarah kerajaan Aceh ditemukan gelar Panglima Polem yang selalu diikuti oleh nama lain sebagai nama asli dari tokoh yang bersangkutan.
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dan Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar. (Ibrahim Alfian: 1977, 41)
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bangtamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud. (Ibrahim Alfian: 1977, 209).
Dukungan Keluarga
Dalam perjuangannya sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar), Teuku Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud dibantu oleh dua orang Panglima, yakni abang iparnya yang bernama Teuku Ali Basyah dari Geudong dan Teuku Ibrahim Montasie'. Di samping itu, Panglima Polem juga mendapat dukungan yang sangat kuat dari mertuanya Tuanku Hasyim Bangtamuda. Di mana dia sendiri berhasil mengumpulkan dana sabilillah dari wilayah bawahannya XXII Mukim yang jumlahnya sekitar 35.000 ringgit dan mertuanya Tuanku Hasyim juga berhasil mengumpulkan amunisi dari Daerah VII Mukim Pidie.
Dukungan Ulama
Selain itu, dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak langsung juga memperoleh dukungan dari para ulama Aceh, seperti Teungku Mayet Tiro, Teungku Klibeuet, Habib Lhong dan Teungku Geulima. Mereka mendirikan kubu-kubu pertahanan rakyat Aceh guna menghadapi serangan Belanda, terutama terhadap Daerah XXII Mukim. Bahkan lebih dari itu, ternyata para ulama juga ikut aktif pada barisan terdepan dalam menghadapi Belanda. Teungku Muhammad Amin misalnya, dia secara riil memperoleh pengakuan dari Sultan Muhammad Daud Syah sebagai pimpinan pejuang menggantikan Teungku Chi’ Syaikh Saman di Tiro yang telah berpulang ke rahmatullah pada tahun 1892.
Di samping itu, peperangan juga dipimpin langsung oleh Teungku Pante Kulu, Teungku Kuta Karang, Habib Samalanga, Teungku Ati Lam Kra', Teungku Mat Saleh, Teungku Rayeu', Teungku Di Caleue, Teungku Husen Lueng Bata, Habeb Lhong dan Pocut Mat Tahe. (Ibrahim Alfian: 1977, 42). Sebagai pendukung utama Panglima Polem dari pihak ulama, maka Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb diangkat menjadi Panglima Besar Pasukan Muslimin. Di samping itu, secara khusus diangkat pula Teuku Nyak Makam sebagai Panglima Besar untuk wilayah Aceh Timur. Pada tahun 1893 Nyak Makam tercatat berhasil menggerakkan sebuah perlawanan yang cukup sengit di daerah Tamiang yang telah menewaskan sejumlah perwira dan pasukan Belanda.
Bergabung Dengan Teuku Umar
Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan rakyat Aceh. Kesulitan itu diperparah lagi oleh segala siasat Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya yang pada bulan September 1893 secara pura-pura menyerah kepada Belanda, lalu dia diangkat sebagai Panglima Perang Besar di pihak Belanda. Di penghujung bulan Maret 1896 setelah terjadi penyerangan besar-besaran terhadap patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII Mukim Ba'et Aceh Besar, secara dramatis Teuku Umar bersama 15 pengikutnya berbalik kembali membela rakyat Aceh. Teuku Umar meninggalkan Belanda setelah memiliki dana, persenjataan, dan telah banyak menguasai teknik tempur dari pihak Belanda. Pada tanggal 26 April 1896 (ia dipecat oleh penguasa Belanda dari segaia jabatannya dan sejak saat itu dia menjadi tokoh utama yang paling diincar oleh pihak Belanda. Dalam pengejaran Teuku Umar, Gubernur Belanda Deijkerhoff meminta bantuan penambahan pasukan dari Pemerintah Pusat di Batavia. Bantuan pasukan besar-besaran tiba bersama Panglima Angkatan Darat dan Panglima Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Vetter. Mereka menggempur seluruh kubu pertahanan Aceh dari semua ini.
Sementara itu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. (Ibrahim Alfian: 1977, 45). Dalam pertempuran besar-besaran yang berlangsung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April di pihak Belanda jatuh korban sebanyak 215 orang tewas dan 190 orang luka-luka. Dengan perasaan takut bercampur marah pasukan Belanda kembali menekan dan mempertajam serangannya, sehingga dalam pertempuran di Aneuk Galung Belanda berhasil menjatuhkan korban di pihak Aceh sebanyak 110 orang sedangkan di pihak mereka hanya 6 orang tewas dan 33 orang luka-luka, di antaranya 4 orang, perwira. Para pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran itu kebanyakan berasal dari daerah Pidie. Di dalamnya terdapat salah seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat tangguh yakni Teungku Mat Amin (salah seorang putera Teungku Chik di Tiro).
Di bawah pimpinan Gubernur J.W. Stemfoort, Belanda merubah pola pertahannya dari sistem konsentrasi ke politik agresi. Walaupun demikian, Belanda tetap menjaga keamanan wilayah yang penduduknya sedikit agak bersahabat dengan pihak mereka, seperti XXV Mukim, IV Mukim dan VI Mukim yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi wilayah sasaran penyerangan Teuku Umar dan Panglima Polem.
Bergerilya ke Pegunungan XXII Mukim
Awal bulan Juli 1896 kawasan XXII Mukim, tempat dimana Sultan Muhammad Daud Syah berada mendapat serangan besar-besaran dari pihak Belanda. Penyerangan ini memaksa Sultan Aceh mengundurkan diri ke Pedalaman Seulimeum pada tanggal 29 Juli 1896. Pihak Belanda dengan kekuatan 1,5 batalion infantri kemudian menyerang kawasan Seulimeum setelah mengetahui keberadaan Sultan Aceh di sana. Mendapatkan penyerangan itu, pada bulan September Sultan hijrah ke Pidie. Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Sejak awal September hingga akhir bulan Oktober 1896 Belanda rnenyerang XXII Mukim. Belanda dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Aceh, hingga mereka berhasil menduduki Jantho. Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergrilya sambil mendirikan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Dari sini Panglima Polem berhasil menduduki Kuta Ba’Teue. Cuaca buruk yang luar biasa sejak Nopember 1896 hingga pertengahan Januari 1897 sangat banyak membantu pola grilya yang dimainkan Panglima Polem. Curah hujan yang luar biasa membuat sebagian besar jalan lintas yang sering digunakan pasukan Belanda menjadi becek, longsor dan sangat sukar untuk dilalui.
Rumah Panglima Polem
Hijrah Ke Pidie
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar sengaja meninggalkan Panglima Polem bersama sejumlah pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum. Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng, dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini secara keseluruhan korban yang jatuh berjumlah 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Bulan Oktober 1897 secara keseluruhan Wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.
Menyusun Strategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan sebelumnya telah berada di Keumala. Dalam bulan dan tempat yang sama, Panglima Polem mengadakan suatu musyawarah bersama dengan beberapa orang tokoh pejuang Aceh lainnya, seperti Teuku Geudong dari IX Mukim Garot, Teuku Lampoh U, Teuku Ali Baet, Teuku Ban Sama’ Indra, Teungku Cot Plieng, Teuku Bentara Cumbo’ dan habib Husen. Musyawarah ini bertujuan untuk menyusun siasat baru dalam mengantisipasi kemungkinan kalau Belanda melakukan penyerangan ke Pidie. Mereka juga mengundang agar Teuku Umar yang pada waktu itu masih berada di Daya datang ke Pidie untuk bergabung bersama.
Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.
Menghadapi Serangan Belanda
Setelah Belanda membaca situasi dan kondisi pertahanan Aceh di lapangan, maka sejak tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando van Heutsz yang sejak bulan Maret 1898 telah diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Belanda menggantikan Mayor Jenderal van Vliet. Dalam menyusun strategi Heutsz didampingi oleh Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera.
Serangan ini mereka bagi dalam dua koloni, yakni koloni Pidie yang berkekuatan lebih kurang 6000 orang dan koloni Seulimeun yang jumlahnya kira-kira 1950 orang. Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando Sultan bersama para pengikutnya. Adapun Teuku Umar dipercayakan umuk memperkuat pertahanan di wilayah Aree dan Garot. Secara umum peperangan ini telah banyak memberikan angin segar bagi pihak Belanda, karena serangan itu telah memaksa para pejuang Aceh untuk mengundurkan diri dan daerah Pertahanannya ke wilayah yang lebih aman.
Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem sendiri akhimya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan diri dari Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasil menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka-luka, sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang. Keberhasilan Belanda dalam serangan ini membuat mereka semakin berani melakukan pengejaran. Setelah menguasai perbukitan pedalaman Peusangan pada tanggal 21 November 1898, Belanda akhirnya berhasil membuat kesatuan pasukan Aceh menjadi terpencar-pencar. Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peutoe sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie. Di wilayah tersebut mereka bertahan selama dua bulan sampai akhirnya Belanda melakukan pembersihan seluruh benteng-benteng Aceh yang masih terdapat di Samalanga dan Meureudu.
Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda. Sementara itu, pihak Belanda sendiri sudah sejak lama ingin menyerang daerah Gayo, karena penduduk di sana selalu memberikan bantuan perang sabil dan perbekalan kepada Sultan dan para pejuang Aceh. Apalagi setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan panglima Polem di daerah tersebut. Oleh karena itu, daerah pedalaman Gayo yang dijadikan sebagai daerah alternatif bagi pusat pertahanan Aceh akhirnya mendapat serangan pihak Belanda dari segala penjuru. Melalui Pase Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor van Daalen selama tiga bulan (sejak September hingga November 1901) terus saja melakukan gerakan pengejaran terhadap Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Akan tetapi Belanda benar-benar mengalami kesulitan yang luar biasa dalam setiap kali pertempuran. Hal itu disebabkan dataran tinggi Gayo sebelumnya tidak pernah dijamah oleh pasukan mereka. Oleh karenanya, Belanda tidak membawa hasil apa-apa dari penyerangan ini, kecuali hanya mendapat sasaran tembak dan pasukan Aceh yang memang lebih menguasai medan.
Untuk memperkuat barisan penyerangannya, maka Pada bulan Juni sarnpai September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo. Kehadiran pasukan Scheepens ini memang sangat banyak membantu penyerangan Belanda, sehingga pasukan Aceh sejak saat itu mulai mengalami tekanan yang luar biasa. Walaupun demikian, Belanda tetap saja gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem.
Siasat Kelicikan Belanda
Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur strategi baru dengan cara yang sangat licik yakni dengan cara menangkap orang-orang dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan. Oleh karena itu, pada tanggal 26 November 1902, pasukan Marsose di bawah Christoffel kemudian melakukan penyerbuan dan berhasil menangkap isteri Sultan dan Teungku Putroe yang pada saat itu rnasih berada di Glumpang Payong. Sebulan kemudian bertepatan dengan hari Natal, Belanda kembali berhasil menangkap isteri Sultan yang lainnya Pocut Cot Murong dan juga seorang Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah berhasil menangkap para kerabat Sultan Muhammad Daud Syah, Belanda kemudian mengeluarkan ancaman yang berisi apabila Sultan tidak menyerahkan diri dalam tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.
Berdamai dengan Belanda
Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Sedangkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud baru pada tanggal 7 September 1903 secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda.
Penutup
Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem, pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah dan rakyat Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan Belanda ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi kemudian, di mana ternyata rakyat Aceh tidak pernah mau berdamai apalagi menyerah kepada Belanda. Oleh karena itu, peperangan demi peperangan antara rakyat Aceh dengan Belanda terus saja berlangsung. Walaupun ada sebagian orang yang beranggapan bahwa dengan berdamainya Sultan Daud pada tahun 1903 dengan Belanda berarti kedaulatan Aceh sudah tidak ada lagi, namun yang jelas peperangan demi peperangan tidak pernah berakhir secara tegas. Para pejuang Aceh lainnya bersama seluruh rakyat yang merasa harkat dan martabatnya terinjak-injak masih tetap saja melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap Belanda. Peperangan terus saja berlangsung sampai masa penjajahan Jepang.
Dengan demikian, sebutan Panglima Polem bukanlah nama asli dari tokoh yang bersangkutan, tetapi merupakan gelar kehormatan yang dinobatkan karena kebangsawanan sekaligus karena jabatan seseorang. Oleh karena itu, dalam sejarah kerajaan Aceh ditemukan gelar Panglima Polem yang selalu diikuti oleh nama lain sebagai nama asli dari tokoh yang bersangkutan.
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dan Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar. (Ibrahim Alfian: 1977, 41)
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bangtamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud. (Ibrahim Alfian: 1977, 209).
Dukungan Keluarga
Dalam perjuangannya sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar), Teuku Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud dibantu oleh dua orang Panglima, yakni abang iparnya yang bernama Teuku Ali Basyah dari Geudong dan Teuku Ibrahim Montasie'. Di samping itu, Panglima Polem juga mendapat dukungan yang sangat kuat dari mertuanya Tuanku Hasyim Bangtamuda. Di mana dia sendiri berhasil mengumpulkan dana sabilillah dari wilayah bawahannya XXII Mukim yang jumlahnya sekitar 35.000 ringgit dan mertuanya Tuanku Hasyim juga berhasil mengumpulkan amunisi dari Daerah VII Mukim Pidie.
Dukungan Ulama
Selain itu, dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak langsung juga memperoleh dukungan dari para ulama Aceh, seperti Teungku Mayet Tiro, Teungku Klibeuet, Habib Lhong dan Teungku Geulima. Mereka mendirikan kubu-kubu pertahanan rakyat Aceh guna menghadapi serangan Belanda, terutama terhadap Daerah XXII Mukim. Bahkan lebih dari itu, ternyata para ulama juga ikut aktif pada barisan terdepan dalam menghadapi Belanda. Teungku Muhammad Amin misalnya, dia secara riil memperoleh pengakuan dari Sultan Muhammad Daud Syah sebagai pimpinan pejuang menggantikan Teungku Chi’ Syaikh Saman di Tiro yang telah berpulang ke rahmatullah pada tahun 1892.
Di samping itu, peperangan juga dipimpin langsung oleh Teungku Pante Kulu, Teungku Kuta Karang, Habib Samalanga, Teungku Ati Lam Kra', Teungku Mat Saleh, Teungku Rayeu', Teungku Di Caleue, Teungku Husen Lueng Bata, Habeb Lhong dan Pocut Mat Tahe. (Ibrahim Alfian: 1977, 42). Sebagai pendukung utama Panglima Polem dari pihak ulama, maka Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb diangkat menjadi Panglima Besar Pasukan Muslimin. Di samping itu, secara khusus diangkat pula Teuku Nyak Makam sebagai Panglima Besar untuk wilayah Aceh Timur. Pada tahun 1893 Nyak Makam tercatat berhasil menggerakkan sebuah perlawanan yang cukup sengit di daerah Tamiang yang telah menewaskan sejumlah perwira dan pasukan Belanda.
Bergabung Dengan Teuku Umar
Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan rakyat Aceh. Kesulitan itu diperparah lagi oleh segala siasat Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya yang pada bulan September 1893 secara pura-pura menyerah kepada Belanda, lalu dia diangkat sebagai Panglima Perang Besar di pihak Belanda. Di penghujung bulan Maret 1896 setelah terjadi penyerangan besar-besaran terhadap patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII Mukim Ba'et Aceh Besar, secara dramatis Teuku Umar bersama 15 pengikutnya berbalik kembali membela rakyat Aceh. Teuku Umar meninggalkan Belanda setelah memiliki dana, persenjataan, dan telah banyak menguasai teknik tempur dari pihak Belanda. Pada tanggal 26 April 1896 (ia dipecat oleh penguasa Belanda dari segaia jabatannya dan sejak saat itu dia menjadi tokoh utama yang paling diincar oleh pihak Belanda. Dalam pengejaran Teuku Umar, Gubernur Belanda Deijkerhoff meminta bantuan penambahan pasukan dari Pemerintah Pusat di Batavia. Bantuan pasukan besar-besaran tiba bersama Panglima Angkatan Darat dan Panglima Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Vetter. Mereka menggempur seluruh kubu pertahanan Aceh dari semua ini.
Sementara itu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. (Ibrahim Alfian: 1977, 45). Dalam pertempuran besar-besaran yang berlangsung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April di pihak Belanda jatuh korban sebanyak 215 orang tewas dan 190 orang luka-luka. Dengan perasaan takut bercampur marah pasukan Belanda kembali menekan dan mempertajam serangannya, sehingga dalam pertempuran di Aneuk Galung Belanda berhasil menjatuhkan korban di pihak Aceh sebanyak 110 orang sedangkan di pihak mereka hanya 6 orang tewas dan 33 orang luka-luka, di antaranya 4 orang, perwira. Para pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran itu kebanyakan berasal dari daerah Pidie. Di dalamnya terdapat salah seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat tangguh yakni Teungku Mat Amin (salah seorang putera Teungku Chik di Tiro).
Di bawah pimpinan Gubernur J.W. Stemfoort, Belanda merubah pola pertahannya dari sistem konsentrasi ke politik agresi. Walaupun demikian, Belanda tetap menjaga keamanan wilayah yang penduduknya sedikit agak bersahabat dengan pihak mereka, seperti XXV Mukim, IV Mukim dan VI Mukim yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi wilayah sasaran penyerangan Teuku Umar dan Panglima Polem.
Bergerilya ke Pegunungan XXII Mukim
Awal bulan Juli 1896 kawasan XXII Mukim, tempat dimana Sultan Muhammad Daud Syah berada mendapat serangan besar-besaran dari pihak Belanda. Penyerangan ini memaksa Sultan Aceh mengundurkan diri ke Pedalaman Seulimeum pada tanggal 29 Juli 1896. Pihak Belanda dengan kekuatan 1,5 batalion infantri kemudian menyerang kawasan Seulimeum setelah mengetahui keberadaan Sultan Aceh di sana. Mendapatkan penyerangan itu, pada bulan September Sultan hijrah ke Pidie. Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Sejak awal September hingga akhir bulan Oktober 1896 Belanda rnenyerang XXII Mukim. Belanda dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Aceh, hingga mereka berhasil menduduki Jantho. Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergrilya sambil mendirikan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Dari sini Panglima Polem berhasil menduduki Kuta Ba’Teue. Cuaca buruk yang luar biasa sejak Nopember 1896 hingga pertengahan Januari 1897 sangat banyak membantu pola grilya yang dimainkan Panglima Polem. Curah hujan yang luar biasa membuat sebagian besar jalan lintas yang sering digunakan pasukan Belanda menjadi becek, longsor dan sangat sukar untuk dilalui.
Rumah Panglima Polem
Hijrah Ke Pidie
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar sengaja meninggalkan Panglima Polem bersama sejumlah pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum. Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng, dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini secara keseluruhan korban yang jatuh berjumlah 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Bulan Oktober 1897 secara keseluruhan Wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.
Menyusun Strategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan sebelumnya telah berada di Keumala. Dalam bulan dan tempat yang sama, Panglima Polem mengadakan suatu musyawarah bersama dengan beberapa orang tokoh pejuang Aceh lainnya, seperti Teuku Geudong dari IX Mukim Garot, Teuku Lampoh U, Teuku Ali Baet, Teuku Ban Sama’ Indra, Teungku Cot Plieng, Teuku Bentara Cumbo’ dan habib Husen. Musyawarah ini bertujuan untuk menyusun siasat baru dalam mengantisipasi kemungkinan kalau Belanda melakukan penyerangan ke Pidie. Mereka juga mengundang agar Teuku Umar yang pada waktu itu masih berada di Daya datang ke Pidie untuk bergabung bersama.
Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.
Menghadapi Serangan Belanda
Setelah Belanda membaca situasi dan kondisi pertahanan Aceh di lapangan, maka sejak tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando van Heutsz yang sejak bulan Maret 1898 telah diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Belanda menggantikan Mayor Jenderal van Vliet. Dalam menyusun strategi Heutsz didampingi oleh Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera.
Serangan ini mereka bagi dalam dua koloni, yakni koloni Pidie yang berkekuatan lebih kurang 6000 orang dan koloni Seulimeun yang jumlahnya kira-kira 1950 orang. Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando Sultan bersama para pengikutnya. Adapun Teuku Umar dipercayakan umuk memperkuat pertahanan di wilayah Aree dan Garot. Secara umum peperangan ini telah banyak memberikan angin segar bagi pihak Belanda, karena serangan itu telah memaksa para pejuang Aceh untuk mengundurkan diri dan daerah Pertahanannya ke wilayah yang lebih aman.
Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem sendiri akhimya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan diri dari Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasil menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka-luka, sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang. Keberhasilan Belanda dalam serangan ini membuat mereka semakin berani melakukan pengejaran. Setelah menguasai perbukitan pedalaman Peusangan pada tanggal 21 November 1898, Belanda akhirnya berhasil membuat kesatuan pasukan Aceh menjadi terpencar-pencar. Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peutoe sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie. Di wilayah tersebut mereka bertahan selama dua bulan sampai akhirnya Belanda melakukan pembersihan seluruh benteng-benteng Aceh yang masih terdapat di Samalanga dan Meureudu.
Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda. Sementara itu, pihak Belanda sendiri sudah sejak lama ingin menyerang daerah Gayo, karena penduduk di sana selalu memberikan bantuan perang sabil dan perbekalan kepada Sultan dan para pejuang Aceh. Apalagi setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan panglima Polem di daerah tersebut. Oleh karena itu, daerah pedalaman Gayo yang dijadikan sebagai daerah alternatif bagi pusat pertahanan Aceh akhirnya mendapat serangan pihak Belanda dari segala penjuru. Melalui Pase Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor van Daalen selama tiga bulan (sejak September hingga November 1901) terus saja melakukan gerakan pengejaran terhadap Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Akan tetapi Belanda benar-benar mengalami kesulitan yang luar biasa dalam setiap kali pertempuran. Hal itu disebabkan dataran tinggi Gayo sebelumnya tidak pernah dijamah oleh pasukan mereka. Oleh karenanya, Belanda tidak membawa hasil apa-apa dari penyerangan ini, kecuali hanya mendapat sasaran tembak dan pasukan Aceh yang memang lebih menguasai medan.
Untuk memperkuat barisan penyerangannya, maka Pada bulan Juni sarnpai September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo. Kehadiran pasukan Scheepens ini memang sangat banyak membantu penyerangan Belanda, sehingga pasukan Aceh sejak saat itu mulai mengalami tekanan yang luar biasa. Walaupun demikian, Belanda tetap saja gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem.
Siasat Kelicikan Belanda
Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur strategi baru dengan cara yang sangat licik yakni dengan cara menangkap orang-orang dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan. Oleh karena itu, pada tanggal 26 November 1902, pasukan Marsose di bawah Christoffel kemudian melakukan penyerbuan dan berhasil menangkap isteri Sultan dan Teungku Putroe yang pada saat itu rnasih berada di Glumpang Payong. Sebulan kemudian bertepatan dengan hari Natal, Belanda kembali berhasil menangkap isteri Sultan yang lainnya Pocut Cot Murong dan juga seorang Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah berhasil menangkap para kerabat Sultan Muhammad Daud Syah, Belanda kemudian mengeluarkan ancaman yang berisi apabila Sultan tidak menyerahkan diri dalam tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.
Berdamai dengan Belanda
Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Sedangkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud baru pada tanggal 7 September 1903 secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda.
Penutup
Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem, pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah dan rakyat Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan Belanda ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi kemudian, di mana ternyata rakyat Aceh tidak pernah mau berdamai apalagi menyerah kepada Belanda. Oleh karena itu, peperangan demi peperangan antara rakyat Aceh dengan Belanda terus saja berlangsung. Walaupun ada sebagian orang yang beranggapan bahwa dengan berdamainya Sultan Daud pada tahun 1903 dengan Belanda berarti kedaulatan Aceh sudah tidak ada lagi, namun yang jelas peperangan demi peperangan tidak pernah berakhir secara tegas. Para pejuang Aceh lainnya bersama seluruh rakyat yang merasa harkat dan martabatnya terinjak-injak masih tetap saja melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap Belanda. Peperangan terus saja berlangsung sampai masa penjajahan Jepang.
Sumber: TENDASEJARAH.com