Bandar Aceh mempunyai sejarah yang sangat panjang sebagai
cikal-bakal Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Disinilah mula-mula berdirinya
Kerajaan Aceh yang bernama Lamuri atau Al Ramni atau Rami, yang situsnya masih
terdapat di Gampong Pande. Dari literature-literatur dan buku-buku sejarah
tentang Aceh, sejarah Melayu, Naskah-naskah tua, hikayat-hikayat Aceh serta
wawancara dengan orang-orang tua, maka dapatlah diketahui, bahwa Aceh sudah
mempunyai peradaban dan mempunyai system pemerintahan pada masa berabad-abad
sebelum masehi.
sumber www.aceh.my.id |
Catatan sejarah tentang kegiatan pelaut-pelaut Paoenisia yang
tersimpan dalam perpustakaan dikota pelabuhan Alexandria (Iskandariyah), tetapi
karena sudah hilang maka yang dapat digunakan sebagai sumber adalah Injil
(Thomas Braddell “ The Ancient trede of the Indian Archipelago”, Jil. II No: 3,
1857) antara lain tentang apa yang pernah disampaikan oleh The King of Salomon
(Nabi Sulaiman A.S) kepada rakyatnya, yaitu pelaut-pelaut Phonesia supaya
berlayar menuju ke timur untuk menemui gunung Ophir, karena ditempat tersebut
banyak tersimpan harta berharga yaitu emas.
Tiga tahun lamanya pelaut tersebut berpergian, mereka kembali
dengan berhasil membawa harta karun tersebut dalam jumlah besar ( D.M. Champhel
mengatakan Ophir itu terletak di ujung utara Sumatra yaitu Aceh yang sekarang
disebut kampong Pande. Semenjak itu daya tarik berlayar semakin besar untuk
menuju ke timur kearah matahari terbit dan berangsur angsur pula bahan dagangan
bertambah ragam. Dari Eropa dibawa orang-orang barang perdagangan ke
Alexanderia, disini dipertukarkan dengan barang-barang yang dibawa oleh orang
Arab Saba yang pada giliranya pula menampung barang-barang baik dari sepanjang
pantai Arab Selatan maupun dari Teluk Parsi dan India.
Pada masa itulah tampil di pasar Alexanderia hasil-hasil kekayaan
dari Aceh seperti rempah-rampah, kapur barus, belerang, kemenyan, emas, perak
dan timah. Pada tahun 376 S.M. seorang nahkoda Yunani yang tidak dikenal siapa
orangnya pernah membuat semacam buku penuntun yang diberinama “Periplus Maris
Erythraea) (Petunjuk Pelayaran laut India) menjelaskan lintasan perdagangan
yang terjadi masa itu antara Mesir dan India dan pelabuhan-pelabuhan yang
dijumpai ditengah perjalanan laut dan barang yang diperjual belikan antara
negara yang bersangkutan, tetapi keterangan sampai ke timur lagi diperoleh dari
orang-orang India yang mena mereka menceritakan ada suatu pulau dilautan India
yang bernama Chryse yang menghasilkan penyu terbaik di lautan India. Jadi
dapatlah diketahui bahwa pulau yang menghasilkan penyu adalah Sumatera, yang
oleh Periplus ini oleh orang-orang barat dianggap sebagai perintis jalan untuk
mengenal kepulauan Indonesia yang menghasilkan kekayaan alam dan hasil bumi
rempah-rempah tersebut.
Namun orang pertama yang memperkenalkan Nusantara dan semenanjung
Melayu adalah Ptolemaeus pada tahun 301 SM dia juga salah seorang panglima atau
menteri dari Maharaja Iskandar Zulkarnaen, dimana setelah beliau wafat dia
mengambil alih kekuasaan di Alexanderia. Kota tersebut merupakan suatu pelabuhan
besar pada zaman dulu di Mesir yang banyak memegang peranan dalam lintas
perdagangan antar bangsa. Bukunya yang terkenal “geograpike Uplehesis” berupa
ilmu bumi dunia yang lengkap dengan peta-petanya. Pada Bab ketujuh, dia
membicarakan kepulauan dan semenanjung bagian Asia Tenggara. Dia memperkenalkan
“Aureachersoneseus” atau “Golden Chersoneseus” atau dalam bahasa Indonesia
disebut “Pulau Emas” kalau orang Belanda menyebutnya Golden Berg. Dalam peta
itu ditempatkannya sebuah pulau bernama Jabadiou (Sumatera). Suatu kemungknan
dapat diperhitungkan bahwa barang-barang yang dibeli atau diangkut dari
Barygaza, sebagiannya berasal dari ujung pulau Sumatera yaitu Aceh, dalam
kaitan ini dapat diperhitungkan, telah terjadi perdagangan antar pulau, seperti
Kalimantan, Bugis, Maluku, Jawa maupun Palembang, Aceh sebagai entreport untuk
hubungan ke luar negeri karena yang terpenting komoditi eksport pada masa itu
adalah rempah-rempah (lada), kapur barus, emas dan perak, semuanya disuplai
oleh pelabuhan Aceh. Ptolemaeus menyebutkan kota pelabuhan daripada Aurea
Chersoneseus dalam catatannya bernama “Argure” atau kota perak yang terletak
dibagian paling barat pulau emas, yang banyak menghasilkan emas dan sangat
subur.
Dapat diperhitungkan bahwa Argire yang dimaksudkan adalah Lamuri,
atau sekarang kampong Pandee (J. L Moens). Dalam catatan sejarah China dalam
tarikh Dinasti Han pada abad 206 SM, catatan dimaksud berkenaan dengan masa
pemerintahan Kaisar “Wang Mang” yang mana Kaisar tersebut mengirimkan bingkisan
berupa mutiara, permata dan barang-barang lain kepada sebuah negeri yang
disebut dalam catatan itu bernama Huang Tsche dan Kaisar Wang meminta imbalan
dari bingkisan nya, supaya dikirimkan binatang badak yang terdapat dinegeri
itu, Wang bermaksud hendak memelihara badak tersebut dikebun binatangnya,
disini sejarahwan berpendapat yang dimaksud Huang Tsuie adalah Aceh yang
terletak di Ujung Pulau Sumatera Bagian Utara. Dapat dijelaskan disini bahwa
masih banyak catatan-catatan sejarah baik dari perjalanan pelaut-pelaut
Phoenesia maupun perjalanan daripada bangsa-bangsa Arab, Persia dan Tionghoa
yang tidak ditulis disini.
Sesudah ± tahun 400 SM, Aceh di ujung paling barat Pulau Sumatera,
dinamai oleh orang Arab Rami (Al Ramni) oleh orang Tionghoa menyebut Lan-li,
Lam-wuli, Nan-wuli, Nan-poli yang sebenarnya sebutan Aceh adalah Lamuri menurut
sejarah Melayu, oleh Marcopolo menyebut Lambri setelah kedatangan Portugis nama
Lambri tidak pernah disebut lagi melainkan Achem atau (Acheh) Sejak permulaan
abad ke 1 Masehi di Aceh sudah ada pemerintahan atau kerajaan yang
diperintahkan oleh Meurah-Meurah dan meugat-meugat dengan nama Kerajaanya
Lamuri, yang terletak di ujung Barat Pulau Sumatera didekat pantai ± 2 km dan ±
500 meter di pinggir Krueng Aceh yang sekarang disebut Kampung Pande Situs
daripada Istana (pendopo). Dan mesjid masih ada sampai dengan sekarang)
walaupun sebagian sudah rusak akibat tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.
Kalau diperhatikan dari letak geografisnya, maka Aceh Lamuri
berkedudukan sebagai pintu masuk perlintasan laut dari Barat ke timur, atau
pintu keluar dari timur ke barat. Jadi disini dapat diketahui bahwa Aceh
menjadi daerah lintasan pedagang-pedagang dari segala bangsa yang terutama
pelaut-pelaut atau saudagar-saudagar Arab, Persi, Phoenesia, India dan Cina.
Dengan berjalanya waktu dan bertambah majunya arus perdagangan Aceh Lamuri
dengan dunia luar dan hilir mudik saudagar-saudagar Parsi, Arab maka mereka
membuat perkampungan di Aceh Lamuri, sampai pada abad ke VI Masehi.
Kedatangan Islam ke Aceh Menjelang wafatnya Nabi Besar Muhammad
SAW pada tanggal 8 Juni 632 Masehi, tahun pertama Hijriah. Agama Islam sudah
berkembang luas ke seluruh Jazirah Arab. Pengembangan keluar Jazirah Arab
berjalan terus bahkan sudah mencapai ke Tiongkok pada Zaman Khalifah Usman bin
Affan pada tahun 651 M. Sesuai catatan sejarahwan Dinasti Tang tentang
kedatangan perutusan amirul mukminin dalam bahasa tiong hoa bertana han mi mo
mo ni dengan membawa sepucuk surat yang menyebut bahwa kerajaanya (Islam) sudah
berdiri sejak 34 tahun yang lalu. Untuk penelitian kapan Islam mencapai
Nusantara khususnya Aceh, yang cukup penting adanya fakta, yaitu:
A.Sudah terlaksananya peng-Islaman diseluruh Jazirah Arab sebelum
Rasullullah wafat.
B. Pedagang-pedagang atau pelaut-pelaut Arab yang menlintasi
lautan sejak masa itu sudah terdiri dari oang-orang muslim.
C. Pedagang/pelaut Arab selalu mondar-mandir ke Aceh untuk membeli
barang-barang dagangan yang akan dibawa ke Iskandariyah. Seperti yang tersebut
sebelumnya bahwa orang-orang Arab dan Parsi sudah membuat perkampungan di Aceh
(Lamuri), jadi kegiatan merantau dan orang-orang Arab dan Parsi yang terdapat
dalam catatan Tionghoa, paling sedikit ada dua yang menjadi perhatian, antara
lain: a. Kesan-kesan perjalanan biksu Tionghoa I-Tsing pada tahun 672 M menuju
Nusantara melewati selat malaka menyinggahi O-Shen yang dimaksud adalah
pelabuhan Aceh Lamuri. b. Catatan yang dilengkapi oleh W.P Groenevelt yang
didapat dalam naskah Dinasti Tang, bahwa di pantai sebelah Barat Sumatera
(Aceh) telah ada bermukim orang-orang Arab yang disebut bangsa TA-SHI. Mengenai
(a) I Tsing mengatakan bahwa dia menumpang kapal orang Po-ssu yaitu Parsi,
diperhatikan dari masanya tahun 672 M yaitu sekitar 40 tahun berkembangnya
Islam di Parsi, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pelaut-pelaut dan
saudagar-saudagar dari Parsi sudah memeluk agama Islam. Mengenai (b), orang
Arab atu Ta-Shi yang bermukim dipantai barat Sumatera (Aceh) disekitar tahun
674 Masehi, tentulah pula sudah menjadi pemeluk agama Islam.
Pencatat dari Tionghoa
menyebut mereka orang Ta-shi. Jadi pendatang Arab, Parsi yang membangun
permukiman di Aceh Lamuri atau Kampung Pande sekarang ini jumlah mereka sangat
banyak, ini dapat dilihat sewaktu mereka bermaksud menyerang Holling
(Keudah-Malaysia) yang juga negerinya sangat makmur sama dengan di Aceh Lamuri,
sekaligus memberi petunjuk bahwa jumlah mereka tidak sedikit dan kedudukan
mereka sudah sangat kuat. Sejak tersiarnya pendapat dari Groneveldt itu, para
sarjana menjadi meningkat perhatianya untuk mengetahui kedatangan Islam ke
Aceh. Kolonel G. E. Gerini dalam studinya mengatakan bahwa pernah ada
permukiman orang Arab, Persi di wilayah Ta-shi (Aceh) dan dia meneguhkan
ketidak sangsian lagi bahwa yang dimaksud Ta-shi adalah Aceh. Antara lain
diyakinkan bahwa ISLAM sudah masuk ke Aceh pada tahun 674 M atau pada abad
pertama Hijriah.
Profesor Syed Naquib Al-Ahas dalam satu studinya yang kemudian
disiarkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kualalumpur mengatakan bahwa “catatan
yang paling tua mengenai kemungkinan bermukimnya orang Arab Muslim di Aceh
adalah bersumber daripada laporan Cina tentang permukiman Arab dan Parsi di
ujung Sumatera bagian utara (Aceh) di tahun 55 H atau 674 M. Pada seminar
sejarah masuknya Islam ke Indonesia yang dilangsungkan di Medan pada tanggal
17-20 Maret 1967 telah diambil kesimpulan antara lain: a. Bahwa Islam masuk
pertama kali ke Indonesia adalah pada Abad ke I Hijriah dan langsung dari Arab.
b. Bahwa daerah pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera dan terbentuknya
masyarakat Islam dan system kerajaan (kesultanan) di Aceh.
Professor Hamka yang dalam seminarnya itu tampil sebagai
pembanding utama, yang mendukung penuh bahkan menperjelas kelansungan datangnya
ISLAM dari Arab pada Abad ke I Hijriah. Dalam tahun 1978 pada tanggal 10-16
Juli 1978 di Banda Aceh telah berlangsung suatu seminar tentang masuk dan
berkembangnya Islam di Aceh yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Propinsi D.
I Aceh, seminar tersebut bertujuan mengupas dan mencari kesimpulan yang akurat
bagian-bagian seluruh aspek yang berkaitan dengan sejarah perkembangan islam di
Propinsi Aceh.
Kesimpulan-kesimpulan yang berhasil diambil terbagi dalam tiga bab
yaitu: - Bab pertama diambil kesimpulan yaitu, masih banyak lagi bahan-bahan
yang harus dikumpulkan dan diteliti sehubungan dengan masuk dan berkembangnya
Islam di Aceh. - Bab kedua meliputi 29 kesimpulan - Bab Ketiga: berkenaan
dengan saran-saran yang bernilai dengan Bab 2, khususnya mengenai masuk dan
berkembangnya Islam, yang terpenting diantaranya adalah: a. Sebelum Islam masuk
ke Aceh, sudah ada kerajaan-kerajaan di Aceh diantaranya Lamuri di Aceh Besar
(Kampung Pande sekarang) dan kerajaan-kerajaan lain (Sumber catatan bangsa lain
yang pernah atau sering berkunjung ke Lamuri). b. Pada abad ke I Hijriah, Islam
sudah masuk ke Aceh. c. Kerajaan Islam yang pertama adalah Lamuri, Peureulak
dan Pasai.
Jadi disini dapat diambil kesimpulan bahwa Islam masuk ke Aceh pada
tahun 674 M, sesuai dengan catatan dan pendapat-pendapat dari para ahli sejarah
dan catatan naskah Tionghoa, dan masih banyak pendapat ahli-ahli sejarah yang
tidak diungkapkan dalam tulisan ini, serta dari hasill seminar-seminar yang
sudah dijelaskan sebelumnya.
Sejarah Kerajaan Aceh Lamuri sampai Aceh Darussalam. Sudah
dikelaskan pada permulaan sekali, bahwa Aceh sudah dikenal sejak dari 1000
tahun SM dimasa pemerintahan Nabi Sulaiman A.s (The King of Salomon) sampai
pada masa Periplus, tahun 376 SM, Prolemeus 301 S.M Dinasti Han I, 206 SM smpai
pada abab I M s/d abad ke 4 Masehi, dimana orang-orang Arab menamakan Aceh
dengan Al-Ramni atau Lamuri yang terletak di ujung barat pulau Sumatera atau di
Kampung Pandee sekarang (situsnya masih ada) sampai dengan masuknya Islam pada
tahun 674 M, disini penulis tidak mau mempermasalahkan apakah Aceh Besar yang
pertama masuk Islam menurut “Bustanul Salatun” karangan Syech Nurdin Arraniry
ataupun di Pasai menurut Hikayat raja-raja Pasai. Sejak masuknya Islam ke Aceh
Besar pada tahun 674 M dimana Islam terus berkembang pesat dan dapat diketahui
system pemerintahan sejak 1000 tahun SM sampai abad ke I M sudah mulai ada dan
mulai abad 1 M sampai dengan masuknya Islam sistem pemerintahan bertambah baik
dan komplet. Pada waktu itu kerajaan Lamuri di Aceh Besar atau lebih dikenal
dengan nama Aceh tiga segi (Aceh Lhee Sagoe), dimana pada masa itu Aceh Lamuri
masih diperintah oleh meurah-meurah dan meugat-meugat (pembesar Negara).
Pada saat Islam terus berkembang dengan pesatnya, mulailah
berdatangan ulama-ulama yang mengembangkan agama Islam ke Aceh Raya, salah
seorang diantaranya adalah turunan Bani Saljuk berasal dari bangsa Turky yaitu
Sulthan Malik Syah Saljuk, salah seorang Sulthan Malik Syah Saljuk salah
seorang Sulthan pada masa Dinastu Abbasyiah yang mana salah seorang cucu beliau
yaitu Machdum Abi Abdullah Syeh Abdurrauf Baghdady atau Tuan dikandang Syeh
Bandar Aceh Darussalam yang makamnya sekarang ada dikampung Pande. Kalau kita
mengikuti catatan dari naskah tua yang disimpan di perpustakaan Universitas
Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur (foto copy dari naskah tersebut tersimpan
dalam perpustakaan Ali Hasyimi Banda Aceh) oleh Ayahnda Ali Hasyimi
menyimpulkan dan beliau lebih condong dan sangat meyakinkan fakta-fakta yang
tercatat dalam naskah tua tersebut, selain itu dalam naskah itu terdapat banyak
lagi fakta-fakta sejarah yang sangat penting mengenai Aceh. Kesimpulan yang
diambil oleh Prof. Ali Hasyimi, bahwa sebagian raja-raja dan para pembesar yang
memerintah Aceh dan para ulama. Ulama yang mengembangkan ilmu agama dan ilmu
pengetahuan di Aceh dan daerah-daerah kekuasaanya adalah turunan dari Bani
Saliuk yang berasal dari Kabilah kecil keturunan Turki, yaitu Kabilah Qunuq.
Kabilah ini bersama dengan duapuluh kabilah-kabilah kecil lainnya bersatu
membentuk rumpun Chuz, semula gabungan Kabilal ini tidak memiliki nama hingga
muncul tokoh Saljuk bin Tuqaq yang mempersatukam mereka dengan memberi nama
suku Saljuk.
Suku ini bermukim atau mendiami pengunungan emas di Asia Barat,
mereka terkenal salah satu suku yang berdarah panas dan berani, daerah tempat
suku ini bermukim di daerah Turkistan. Dibawah pemerintahan Raja Bighu yang
mengangkat Saljuk bin Tugaq sebagai pemimpin militer dari suku Saljuk. Suku ini
bertetangga dengan Dinasti Samaniyah dan Dinasti Gaznawijah, suku ini memihak
pada Dinasti Samaniyah ketika terjadi persengketaan anatara samaniyah dengan
Gaznawijah dimana Dinasti Samaniyah dikalahkan oleh Dinasti Gaznawiyah, Saljuk
menolak untuk bergabung dengan Gaznawiyah dan memproklamirkan wilayah yang
diduduki suku ini sebagai negeri merdeka. Bahkan ketika muncul tokoh generasi
Saljuk yang bernama Tughrilbek, suku Saljuk berhasil mengalahkan dan mengakhiri
kekuasaan Ghaznawiyah pada tahun 429 H (1036 M), dan semenjak itu Dinasti
Saljuk sukses dalam setiap upaya ekspansi. Pada masa kepemimpinan Tughril Bek
tahun1037-1063 M (430-456 H) suku Saljuk berhasil memasuki Bagdad, setelah
mengalahkan DInasty Buwaihiyyah. Mulai dari sini Bani Saljuk mulai
memerintahkan didalam DInasty Abbasiyah. Setelah Tughril beg wafat dan diganti
oleh kemenakannya yang bernama Alp Arselan (1063-1072 atau 456 H-465 H), pada
masa itu ekspansi besar-besaran kea rah timur, menundukan Armenia, ke Arab
bagian barat sampai ke Asia kecil, begitu hebat perkembangan pada masa itu
sehingga semakin luas daerah kekuasaan Bani Saljuk. Disini tercatat Alp Arsilan
sebagai penguasa yang adil dan bijaksana, beliau mangkat pada tahun 465 H/1072
M dan digantikan oleh putranya bernama Malik Syaj.
Pada masa Pemerintahan Sultan Malik Syah seluruh wilayah
kesultanan saljuk yang luas ini diwarnai kemakmuran dan kedamaian hidup,
pembangunan dalam segala bidang berkembang dengan pesat, demikian juga bidang
seni dan budaya terutama bidang ilmu pengetahuan pengembanganya sangat maju
sekali. Yang paling menonjol adalah ilmu teknik pemerintahan , ilmu astronomi,
ilmu matematika (Aljabar) dengan penemuan system hitungan decimal, aritmatika,
geometri, logaritma. Selain itu mereka juga memberikan kontribusi besar dalam
bidang ilmu kimia yaitu “Term chemistry” yang mereka sebut Al Kimia. Demikian
masa pemerintahan Sulthan Malik Syah sampai dengan mangkatnya beliau tahun 485
H/1092M. Kemudian sulthan-sulthan pengganti beliau tidak memiliki kecakapan
dalam memerintah sehingga kesulthanan Bani Saljuk mengalami kemunduran, sampai
pada masa perang salib dan kehancuran Bani Saljuk oleh serangan bangsa Mongol
(Hulagu Khan) pada masa itu sedang dibentuk Dinasti Turki Usmani berpangkal
pada sebuah suku kecil yakni Kabilah Ughu semula mereka tinggal disebelah utara
negeri Cina. Karena tekanan-tekanan dari bangsa Mongol, mereka dibawah pimpinan
Sulaiman Syah, berpindah kearah barat hingga mereka bergabung dengan saudara
seketurunan, yakni orang Turki Saljuk di Asia Kecil. Dibawah pimpinan Usman
mereka membentuk kerajaan Turki Usmani dengan raja yang pertama Usman I yang
bergelar “Padinsyah Ali Usman” pada tahun 1281-1324 kemudian Dinasti Usman
berjalan terus sampai terjadi perang dunia pertama (1915 M), dan pada masa
Mustafa Kamal dalam kapasitas pemimpin dewan majelis menghapus jabatan Khalifah
pada tahun 1924 semenjak itu berakhir Imperium Turki Usmani dan sejarah Turki
memasuki era modern dengan system pemerintahan republik.
Kembali pada masalah datangnya ulama-ulama ke Aceh Besar, yaitu ada
lima orang ulama yang mengembangkan agama Islam dan ilmu pengetahuan di Aceh
Bandar Darussalam (Lamuri-Aceh Besar). Kelima ulama-ulama pengembang Islam
tersebut adalah: 1. Abdullah, berasal dari Persia, Mazhab hanafi, Ahlus sunnah
wal jama’ah, datan ke Aceh pada tahun 229 H (843 M). 2. Sulaiman bin Abdullah
Yamani, Mazhab Zidi, datang ke Aceh pada tahun 236 H (850 M). 3. Syeck Umar bin
Abdullah Malabari, dari Mekkah, Mazhab Syafi’i, Ahlus sunnah wal jama’ah, ke
Aceh pada tahun 275 H (879 M). 4. Abdullah Hasan Al-Makki, dari Mekkah, Mazhab
Syafi’i, Ahlus sunnah wal jama’ah, ke Aceh pada tahun 284 H (889 M). 5. Makhdum
Abi Abdullah Syekh Abdul Rauf Baghdadi bergelar Tuan dikandang Syekh Bandar
Aceh Darussalam, beliau keturunan dari Sultan Malik Syah Saljuk, kuburan di
Kampung Pandee. Beliau inilah nenek moyang dari pada raja-raja,
pembesar-pembesar dan Ulama-ulama dalam zaman kerajaan Aceh Lamuri (Bandar Aceh
Darussalam) sampai pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Beliau datang ke Aceh
pada Abad ke 11 Masehi atau ke IV Hijriah. Setelah ulama-ulama berdatangan ke
Aceh, perkembangan Islam yang mencapai puncaknya, apalagi dengan datangnya
ulama pendiri Tharikat Kadriyah yaitu Sykh Abdulkadir Jaelani, pada abad k XI
atau pada masa Tuan Dikandang atau Makhdun Abi Abdullah Syekh Abdul Ra’uf
Baghdadi, dari sinilah mulai terbentuk kerajaan Islam Aceh Lamuri atau Bandar
Aceh Darussalam dilembah Aceh Tiga Segi (Aceh Lhee Sagoe) Aceh Besar. Menurut
Naskah tua yang terdapat di perpustakaan Universitas Kebangsaan Malaysia, terdapat
sarakata (Ranji) sisilah dari raja-raja Aceh, mulai dari raja-raja kerajaan
Aceh Lamuri sampai kepada raja-raja dan ratu-ratu kerajaan Aceh-Darussalam.
Begitulah sarakata atau ranji atau silsilah daripada raja-raja
dari kerajaan Aceh, dan menurut keterangan dari salah seorang pegawai Dinas
Kebudayaan Bagian Purbakala NAD, juga pernah ada silsilah atau sarakata dari
raja-raja kerajaan Aceh yang persis sama dengan yang terdapat pada perpustakaan
Universitas Kebangsaan Malaysia, tetapi sewaktu terjadi kebakaran pada tahun
2002, silsilah tersebut turut terbakar. Sudah dijelaskan di atas bahwa kuburan
dari pada Tuan di Kandang atau Makhdum Abi Abdullah Syekh Abdul Ra’uf Baghdadi
terletak di Kampung Pandee, dan kuburan itu rusak dilanda tsunami, juga kuburan
Sulthan Abdul Aziz Johan Syah serta Sulthan-Sulthan sesudahnya, Putroe Ijo,
kuburan Raja Si Uroe atau Sulthan Alaiddin Mukminsyah, juga bernama raja Mukhal
Ibnu Ali Riatsyah, beliau pernah menjadi raja di Pariaman Sumatera Barat dengan
panggilan Sulthan Seri Alam Firmansyah. Selain dari kuburan raja-raja juga
terdapat kuburan ulama-ulama dan raja-raja di Kampung Jawa, Pelanggahan di
Kecamatan Kutaraja, seperti kuburan Tengku Di Anjong atau Syekh Abubakar Al
Fakih. Banyak kuburan-kuburan lama itu belum disentuh atau diselidiki oleh
ahli-ahli sejarah dan juga bekas istana (pendopo) dan bekas mesjid pada masa
kerajaan Lamuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar